Cerbung: Adellia #1

by - 12.58.00


Halo teman-teman!! Aku mau posting cerbung aku nih! Ini asli karyaku, ya! 100% AUTHENTIC! Cerita ini sudah lama kubuat. Yuk, kita baca! Cerita ini sudah pernah kuposting di blogku yang dulu. Let's read my stories!
Adellia Part 1

Aku benci Adellia! Benci! Sangat benci! Kenapa, sih, Adellia harus pakai mengkhianati persahabatan kami berdua segala?!
            Aku mengamuk. Kurobek kertas yang sedang kupegang. Kertas itu adalah surat dari Adellia. Surat untuk memanas-manasiku, bukan surat permintaan maaf! Padahal, dia sudah mengkhianatiku. Aku benci dia! BENCI!
            Aku kembali mengingat saat aku dan Adellia berkenalan …
***
            “Namamu siapa?” tanyaku.
            “Namaku Adellia. Kamu mau, tidak, menjadi temanku? Aku belum punya teman …”
            “Boleh, kok!”
            “Makasih, ya. Mau main ke rumahku, nggak?”
            “Mau!”
***
            Ingatan itu kembali hilang. Aku emosi. Kupukul-pukul bantal dengan kuat. Aku mengomel.
            “Jahat! Adellia jahat! Pengkhianat! Penyamar! AKU BENCI DIA!!” teriakku.
            Kalian harus tahu! Adellia bukan hanya mengkhianatiku saja, namun dia juga mencuri barang-barangku yang menurutnya berharga! Saat itu, aku masih bersahabat dengannya. Ia mencuri semua barang berhargaku saat ia menginap di rumahku. Ia mencurinya saat aku tidur, juga saat aku mandi dan saat aku lengah.
 Aku berdiri, memakai jaket, lalu keluar rumah. Kugerakkan kaki menuju rumah Adellia. Dia harus menerima akibatnya sekarang!!
            Ternyata, tak perlu aku memasuki rumahnya, aku sudah menemuinya di halaman rumahnya. Ia lagi bermain lompat tali bersama geng yang merupakan geng musuhku, yaitu geng Beauty Girl’s.
            Amarahku segera meletup-letup. Kutarik lengan Adellia yang sedang melompat. Kontan saja, ia jatuh. Namun, aku tak menolongnya, tapi malah semakin menyeretnya menjauh dari gengnya.
            Aku berhenti. Adellia bangkit, lalu memelototiku.
            “AKU BENCI KAMU!” teriakku. “KAMU! PENGKHIANAT! JAHAT! KEMBALIKAN SEMUA BARANGKU YANG KAMU CURI DARI KAMARKU!”
            “Oh,” Adellia berkacak pinggang lalu berkata dengan nada mengejek, “ternyata kamu sudah tahu. Namun, aku tak ingin mengembalikannya. Tentu, itu sudah menjadi barang milikku, kepunyaanku.”
            Aku menjewer telinganya, “Kamu mencurinya! Bukan AKU YANG MEMBERIKANNYA UNTUKMU! Atau, kamu ingin, ya, aku mengatakannya saja pada ibumu?! Agar kamu dimarahi!”
            Adellia memelototiku dengan cara angkuh, “dasar tukang ngadu! Tentu aku takkan membiarkanmu mengatakannya semudah itu pada ibuku!”
            Aku hampir saja menamparnya. Namun, tanganku ditangkis oleh teman geng Adellia. “Kamu berani, ya, menampar sahabatku!” Kelynn, ketua geng itu, menatapku dengan tatapan sok gak kenal. “Jauhi sahabatku! Atau kamu akan berurusan denganku.”
            Aku membalas sinis, “ini masalahku dan Adellia. Kamu tak perlu ikut campur. Apalagi, kamu sudah merebut Adellia dariku!” aku memelototinya. Kuakui, pasti aku sangat terlihat jelek. “Dan kamu, membuat sifat Adellia seperti ini! Dosamu sangat banyak! Bisakah kamu taubat?!” tanyaku mengejek.
            “Kamu melanggar peraturan,” Kelynn mendekatiku dengan angkuh, lalu menolakku dengan kasar untuk keluar dari pekarangan rumah Adellia. “Sudah kukatakan jangan mendekati sahabatku, Bodoh!”
            Kelynn melenggang pergi bersama sahabatnya dengan gaya sok. Namun, aku tak ingin kalah. Kuambil dengan hati-hati dua ekor kecoa yang sedang melintas dibelakang pot tanaman. Lalu, kulempar dua kecoa itu kearah Kelynn dan gengnya. Sontak, kecoa itu ‘nangkring’ dengan manis di punggung leher Kelynn dan Adellia. Mereka berdua berteriak ketakutan dan melompat-lompat. Aku cekikikan, lalu dengan setengah berlari, aku pun kabur.
***
            Di sekolah, aku bertemu Adellia saat melintas di depan toilet. Aku dan dia pura-pura tidak mengenal. Kami berdua tak ingin bersapaan. Aku benci padanya. Dan aku yakin, ia juga begitu. Pasti gara-gara kecoa yang aku lempar kemarin lusa. Jika mengingatnya, aku kadang tertawa. Lucu, sih! Hihihi …
            Namun, aku agak merasa was-was saat masuk kelas, aku merasakan firasat buruk.
            Kenapa aku merasakan firasat buruk, ya? Apakah yang terjadi nanti akan terjadi sesuatu yang buruk? Kejadian seperti apa? Ada dimana, ya?
Aku pun mencoba menetralkan diri. Saat membuka loker, aku pucat. Laptopku hilang! Pulpen yang Papaku beli di Singapura juga hilang. Apakah yang mengambilnya Adellia? Apakah ia bermaksud mencuri? Oh, tidak! Jangan menuduh dulu! Nanti aku akan bertanya padanya. Tapi … bagaimana ini? Bukankah semua catatan pelajaran dan pr semua pelajaran aku kerjakan di laptop? Bagaimana aku mau mencatat nanti, kalau laptopku tidak ada! Aku pun lemas dan takut setengah mati.
            Saat pelajaran Bahasa Indonesia berlangsung …
            “Kirim semua PR yang Miss berikan kemarin lusa, ke email Saya!” seru Miss Nissa. Aku berdiam diri di bangkuku, tidak melakukan seperti yang dilakukan murid lain, mengrim PR ke email Miss Nissa. Miss Nisa melihatku. Aku gugup.
            “Mengapa tidak langsung mengirimkan PR-mu, Charissa Lindsay? Mana laptopmu?”
            “Um … laptop … laptop … laptop saya hilang, Miss.”
            Miss Nissa agak terkejut. “Hilang? Apakah benar? Kamu menguncinya dengan baik sekali, bukan?”
            Aku semakin menunduk, ketika beberapa murid di sekelilingku mulai berbisik dan memperhatikanku.
            “Ya, Miss. Benar, laptop saya hilang, dan sebelumnya saya telah menguncinya dengan baik.”
            “Miss terpaksa menghukummu,” Miss Nissa menarik napas. “Karena peraturannya, jika tidak mengerjakan PR, harus dihukum. Hukumannya, kamu harus membantu Miss menilai PR yang dikumpulkan barusan saat istirahat, dan harus mengerjakan ulang PR tersebut.” Miss Nissa berjalan pergi, “maafkan saya, tapi ini peraturan.”
            Aku menunduk.
***
            “Kamu, ya, yang mengambil laptopku serta pulpen dari Singapura milikku?” semburku pada Adellia saat pulang sekolah.
            Adellia tersenyum puas dan sinis, “wow … aku tak tahu itu akan menimbulkan masalah. Ya … seperti contohnya, kamu dihukum.” Adellia tertawa congkak.
            Aku kesal, “kamu sudah bukan sahabatku! Bukan juga temanku! Kamu sekarang musuhku. Dan sudah menerima beberapa siksaan darimu, lalu kamu menambahnya lagi!” aku mengigit bibir kuat-kuat. “kamu seharusnya mendapatkan balasannya!”
            “Kamu sudah membalasku,” Adellia berubah sengit, “kecoa kemarin lusa … kamu yang melemparkannya, BUKAN?!” suara Adellia meninggi, “aku benar-benar harus membalasmu dengan level yang lebih tinggi.”
            “Kamu yang memulai!” aku juga jadi sengit, “kamu mengkhianatiku. Kamu mencuri barang-barangku. Dan sekarang?” aku berusaha meredam emosi, “kamu membuatku stress. Benar-benar kamu, seorang pengkhianat!” aku menarik rambutnya yang terkepang dua dengan paksa.
            “Berhenti, Lindsay!” Kakak kelasku, Kak Fanya, melepas tarikan lenganku di rambut Adellia. Adellia meringis kesakitan. “Apa yang kamu lakukan? Tidak baik bertengkar fisik!” omelnya, membuat emosiku makin membesar.
            “Kak, dia yang memulai! Mengapa aku yang diomeli dan mengapa Adellia yang dibela?!” seruku protes, lalu aku menggumam emosi, “seandainya saja kau tahu permasalahan kami, Fanya!”
            “Aku tahu permasalahan mereka, Fanya,” Kak Shiffa berkata dingin, cool, sesuai sifatnya. “Adellia-lah yang memulainya. Ia berkhianat.” Kak Shiffa menatap Kak Fanya yang bertanya-tanya, dengan tatapan untuk menyuruhnya pergi.
             Kak Fanya bergegas pergi. Kak Shiffa melihat Adellia, lalu berkata. “Adellia, tidak baik kamu berkhianat,” Kak Shiffa berkata dingin, “minta maaflah pada Lindsay.” Lalu, Kak Shiffa berjalan pergi.
            Sepeninggalan Kak Shiffa, Adellia menatapku tajam, “keterlaluan kamu!” ia melenggang pergi.
***
            “Lindsay …”
            Aku terkejut. Cepat-cepat aku menyembunyikan surat dari Adellia, lalu menoleh pada Sang Pemilik Suara, yaitu Kak Laisa.
            “Surat apa itu?” Kak Laisa menaikkan alis. “Kakak dengar dari Mama … laptopmu hilang. Apakah itu benar?”
            Aku tersentak. Sambil menunduk, aku mengangguk.
            “Kakak yakin, kamu tahu siapa yang mengambil laptopmu itu …” Kak Laisa menarik napas pelan. “Boleh kakak tahu, siapa dia?”
            Aku terdiam lama. Setelah itu, aku mengangguk. “Boleh.”

            Kak Laisa duduk disampingku. “Siapa dia?”
Bersambung ke part 2

You May Also Like

0 Comments