Cerbung: Adellia #1
Adellia Part 1
Aku benci Adellia! Benci! Sangat
benci! Kenapa, sih, Adellia harus pakai mengkhianati persahabatan kami berdua
segala?!
Aku
mengamuk. Kurobek kertas yang sedang kupegang. Kertas itu adalah surat dari
Adellia. Surat untuk memanas-manasiku, bukan surat permintaan maaf! Padahal,
dia sudah mengkhianatiku. Aku benci dia! BENCI!
Aku kembali mengingat saat aku dan
Adellia berkenalan …
***
“Namamu siapa?” tanyaku.
“Namaku Adellia. Kamu mau, tidak,
menjadi temanku? Aku belum punya teman …”
“Boleh, kok!”
“Makasih, ya. Mau main ke rumahku,
nggak?”
“Mau!”
***
Ingatan itu kembali hilang. Aku
emosi. Kupukul-pukul bantal dengan kuat. Aku mengomel.
“Jahat! Adellia jahat! Pengkhianat!
Penyamar! AKU BENCI DIA!!” teriakku.
Kalian harus tahu! Adellia bukan hanya
mengkhianatiku saja, namun dia juga mencuri barang-barangku yang menurutnya
berharga! Saat itu, aku masih bersahabat dengannya. Ia mencuri semua barang
berhargaku saat ia menginap di rumahku. Ia mencurinya saat aku tidur, juga saat
aku mandi dan saat aku lengah.
Aku berdiri,
memakai jaket, lalu keluar rumah. Kugerakkan kaki menuju rumah Adellia. Dia
harus menerima akibatnya sekarang!!
Ternyata, tak perlu aku memasuki
rumahnya, aku sudah menemuinya di halaman rumahnya. Ia lagi bermain lompat tali
bersama geng yang merupakan geng musuhku, yaitu geng Beauty Girl’s.
Amarahku segera meletup-letup.
Kutarik lengan Adellia yang sedang melompat. Kontan saja, ia jatuh. Namun, aku
tak menolongnya, tapi malah semakin menyeretnya menjauh dari gengnya.
Aku berhenti. Adellia bangkit, lalu
memelototiku.
“AKU BENCI KAMU!” teriakku. “KAMU!
PENGKHIANAT! JAHAT! KEMBALIKAN SEMUA BARANGKU YANG KAMU CURI DARI KAMARKU!”
“Oh,” Adellia berkacak pinggang lalu
berkata dengan nada mengejek, “ternyata kamu sudah tahu. Namun, aku tak ingin
mengembalikannya. Tentu, itu sudah menjadi barang milikku, kepunyaanku.”
Aku menjewer telinganya, “Kamu
mencurinya! Bukan AKU YANG MEMBERIKANNYA UNTUKMU! Atau, kamu ingin, ya, aku
mengatakannya saja pada ibumu?! Agar kamu dimarahi!”
Adellia memelototiku dengan cara
angkuh, “dasar tukang ngadu! Tentu aku takkan membiarkanmu mengatakannya
semudah itu pada ibuku!”
Aku hampir saja menamparnya. Namun,
tanganku ditangkis oleh teman geng Adellia. “Kamu berani, ya, menampar
sahabatku!” Kelynn, ketua geng itu, menatapku dengan tatapan sok gak kenal.
“Jauhi sahabatku! Atau kamu akan berurusan denganku.”
Aku membalas sinis, “ini masalahku
dan Adellia. Kamu tak perlu ikut campur. Apalagi, kamu sudah merebut Adellia
dariku!” aku memelototinya. Kuakui, pasti aku sangat terlihat jelek. “Dan kamu,
membuat sifat Adellia seperti ini! Dosamu sangat banyak! Bisakah kamu taubat?!”
tanyaku mengejek.
“Kamu melanggar peraturan,” Kelynn
mendekatiku dengan angkuh, lalu menolakku dengan kasar untuk keluar dari pekarangan
rumah Adellia. “Sudah kukatakan jangan mendekati sahabatku, Bodoh!”
Kelynn melenggang pergi bersama
sahabatnya dengan gaya sok. Namun, aku tak ingin kalah. Kuambil dengan
hati-hati dua ekor kecoa yang sedang melintas dibelakang pot tanaman. Lalu, kulempar
dua kecoa itu kearah Kelynn dan gengnya. Sontak, kecoa itu ‘nangkring’ dengan
manis di punggung leher Kelynn dan Adellia. Mereka berdua berteriak ketakutan
dan melompat-lompat. Aku cekikikan, lalu dengan setengah berlari, aku pun
kabur.
***
Di sekolah, aku bertemu Adellia saat
melintas di depan toilet. Aku dan dia pura-pura tidak mengenal. Kami berdua tak
ingin bersapaan. Aku benci padanya. Dan aku yakin, ia juga begitu. Pasti
gara-gara kecoa yang aku lempar kemarin lusa. Jika mengingatnya, aku kadang
tertawa. Lucu, sih! Hihihi …
Namun, aku agak merasa was-was saat
masuk kelas, aku merasakan firasat buruk.
Kenapa
aku merasakan firasat buruk, ya? Apakah yang terjadi nanti akan terjadi sesuatu
yang buruk? Kejadian seperti apa? Ada dimana, ya?
Aku pun mencoba menetralkan diri. Saat membuka
loker, aku pucat. Laptopku hilang! Pulpen yang Papaku beli di Singapura juga
hilang. Apakah yang mengambilnya Adellia?
Apakah ia bermaksud mencuri? Oh, tidak! Jangan menuduh dulu! Nanti aku akan
bertanya padanya. Tapi … bagaimana ini? Bukankah semua catatan pelajaran dan pr
semua pelajaran aku kerjakan di laptop? Bagaimana aku mau mencatat nanti, kalau
laptopku tidak ada! Aku pun lemas dan takut setengah mati.
Saat pelajaran Bahasa Indonesia
berlangsung …
“Kirim semua PR yang Miss berikan
kemarin lusa, ke email Saya!” seru Miss Nissa. Aku berdiam diri di bangkuku,
tidak melakukan seperti yang dilakukan murid lain, mengrim PR ke email Miss
Nissa. Miss Nisa melihatku. Aku gugup.
“Mengapa tidak langsung mengirimkan
PR-mu, Charissa Lindsay? Mana laptopmu?”
“Um … laptop … laptop … laptop saya
hilang, Miss.”
Miss Nissa agak terkejut. “Hilang?
Apakah benar? Kamu menguncinya dengan baik sekali, bukan?”
Aku semakin menunduk, ketika
beberapa murid di sekelilingku mulai berbisik dan memperhatikanku.
“Ya, Miss. Benar, laptop saya
hilang, dan sebelumnya saya telah menguncinya dengan baik.”
“Miss terpaksa menghukummu,” Miss
Nissa menarik napas. “Karena peraturannya, jika tidak mengerjakan PR, harus
dihukum. Hukumannya, kamu harus membantu Miss menilai PR yang dikumpulkan
barusan saat istirahat, dan harus mengerjakan ulang PR tersebut.” Miss Nissa
berjalan pergi, “maafkan saya, tapi ini peraturan.”
Aku menunduk.
***
“Kamu, ya, yang mengambil laptopku
serta pulpen dari Singapura milikku?” semburku pada Adellia saat pulang
sekolah.
Adellia tersenyum puas dan sinis,
“wow … aku tak tahu itu akan menimbulkan masalah. Ya … seperti contohnya, kamu
dihukum.” Adellia tertawa congkak.
Aku kesal, “kamu sudah bukan
sahabatku! Bukan juga temanku! Kamu sekarang musuhku. Dan sudah menerima
beberapa siksaan darimu, lalu kamu menambahnya lagi!” aku mengigit bibir
kuat-kuat. “kamu seharusnya mendapatkan balasannya!”
“Kamu sudah membalasku,” Adellia
berubah sengit, “kecoa kemarin lusa … kamu yang melemparkannya, BUKAN?!” suara
Adellia meninggi, “aku benar-benar harus membalasmu dengan level yang lebih
tinggi.”
“Kamu yang memulai!” aku juga jadi
sengit, “kamu mengkhianatiku. Kamu mencuri barang-barangku. Dan sekarang?” aku
berusaha meredam emosi, “kamu membuatku stress. Benar-benar kamu, seorang
pengkhianat!” aku menarik rambutnya yang terkepang dua dengan paksa.
“Berhenti, Lindsay!” Kakak kelasku,
Kak Fanya, melepas tarikan lenganku di rambut Adellia. Adellia meringis
kesakitan. “Apa yang kamu lakukan? Tidak baik bertengkar fisik!” omelnya,
membuat emosiku makin membesar.
“Kak, dia yang memulai! Mengapa aku
yang diomeli dan mengapa Adellia yang dibela?!” seruku protes, lalu aku
menggumam emosi, “seandainya saja kau tahu permasalahan kami, Fanya!”
“Aku tahu permasalahan mereka,
Fanya,” Kak Shiffa berkata dingin, cool,
sesuai sifatnya. “Adellia-lah yang memulainya. Ia berkhianat.” Kak Shiffa
menatap Kak Fanya yang bertanya-tanya, dengan tatapan untuk menyuruhnya pergi.
Kak Fanya bergegas pergi. Kak Shiffa melihat
Adellia, lalu berkata. “Adellia, tidak baik kamu berkhianat,” Kak Shiffa
berkata dingin, “minta maaflah pada Lindsay.” Lalu, Kak Shiffa berjalan pergi.
Sepeninggalan Kak Shiffa, Adellia
menatapku tajam, “keterlaluan kamu!” ia melenggang pergi.
***
“Lindsay …”
Aku terkejut. Cepat-cepat aku
menyembunyikan surat dari Adellia, lalu menoleh pada Sang Pemilik Suara, yaitu
Kak Laisa.
“Surat apa itu?” Kak Laisa menaikkan
alis. “Kakak dengar dari Mama … laptopmu hilang. Apakah itu benar?”
Aku tersentak. Sambil menunduk, aku
mengangguk.
“Kakak yakin, kamu tahu siapa yang
mengambil laptopmu itu …” Kak Laisa menarik napas pelan. “Boleh kakak tahu,
siapa dia?”
Aku terdiam lama. Setelah itu, aku
mengangguk. “Boleh.”
Kak Laisa duduk disampingku. “Siapa
dia?”
Bersambung ke part 2
0 Comments