Cerbung: Adellia #2
Hello gaes ... (ketularan teman-teman nih)!! Gimana kabar lo mua?? Baik kan??? Oya, aku minta maaf ya udah off beberapa hari. Habis ... pulsa modemku habis. Huaaa (nangis mecahin guci). Huft, untung sudah diisiin sama Ayah. Thanks, Dad! Yuk kita-kita read more, baca lanjutan Adellia nya ...
Aku
menghela napas berat, “Adellia. Dia yang mengambilnya. Ia juga mengambil
barang-barangku yang kemarin kakak sadari hilang dari kamarku.”
Kak Laisa terkejut, namun ia
berusaha menutupi itu. Tetapi, aku menyadarinya.
“Mengapa ia tega melakukan itu?
Bukankah itu namanya …” Kak Laisa tercekat, ”mencuri …? Kalian adalah sahabat,
bukan?”
Aku berpikir. Haruskah menjelaskan
masalah ini kepada Kak Laisa?
“Kak … kami bukan sahabat lagi.”
“Kenapa?”
“Aku akan menceritakannya. Tapi …”
aku terdiam sejenak, “kakak janji, ya, jangan memberitahukannya pada siapapun?”
“Ceritakan dulu. Kakak tak bisa
berjanji terlalu cepat. Kalau kakak sudah mengetahui masalahnya, dan kita
memerlukan orang lain untuk memcahkannya, bagaimana? Kita jadinya tak bisa
meminta bantuannya, karena kakak sudah terlanjur berjanji.”
Meskipun berat, aku segera
menceritakannya. Dari Adellia bertemu geng Beauty
Girl’s, Adellia yang berkhianat, pertengkaran kami di pekarangan rumah
Adellia, kehilangan laptop dan pulpenku, sampai perdebatan kami di sekolah. Kak
Laisa mendengar dengan serius.
“Menyedihkan.” Komentar Kak Laisa.
“Tentu saja aku sedih, Kak! Dia
sudah mengkhianatiku, lalu mencuri barang-barangku. Sepertinya, Adellia
bersahabat denganku bukan karena ingin bersahabat, tetapi ia ingin
memanfaatkanku.”
“Jangan terlalu berprasangka buruk
dahulu,” Kak Laisa memegang bahuku.
“Tapi, kak …” aku mencoba menyela,
“ah, ya sudahlah …”
“Kakak akan membantumu,” Kak Laisa
berkata sambil membuka pintu. “tenang saja,” senyumnya mengembang. Lalu, ia
keluar.
“Terima kasih,” aku menggumam.
“Tapi, Kak, aku takkan mempercayai Adellia lagi. Sampai kapanpun …”
***
Di sekolah, saat istirahat, aku tak
berselera makan. Aku merasa kenyang. Karena tidak tahu mau melakukan apa, aku
memutuskan untuk menulis diary.
Diary …
Diary, aku kesepian saat tidak ada
Adellia. Apakah aku mulai merindukannya? Uuh … aku tidak boleh merindukannya!
Tidak! Bukankah ia sudah membuatku bersedih? Membuatku harus menjalankan
hukuman—yang masalahnya ia perbuat? Aku juga sudah berjanji pada hatiku, aku
tak ingin percaya Adellia lagi. Ia pengkhianat. Kalau ia meminta maaf, aku
hanya memaafkannya. Lalu? Yah … aku takkan mendekatinya lagi. Aku akan mencari
sahabat yang lebih memedulikan aku, memercayai aku, dan dirinya pribadi sebagai
seorang sahabat bagiku.
Aku mulai berprasangka buruk. Apa?!
Bukankah berprasangka buruk itu tidak baik? Yah, menurutku, prasangka ini
memang benar. Adellia bersekongkol dengan geng Beauty Girl’s! Ia bekerja sama dengan geng yang selama ini mendapat
predikat ‘geng musuh’ dihatiku. Kalau itu benar, aku akan minta pindah sekolah!
Diary, bukankah kamu sering menerima curhat seseorang yang merasa dikhianati?
Berarti, kamu tahu, kan, perasaan seseorang yang dikhinati? Itu artinya, kamu
tahu perasaanku sekarang, bukan?! Aku merasa stress saja sekarang. L
~Charissa Lindsay
Aku menutup diaryku. Kuletakkan
diary itu dilaci mejaku. Lalu, aku berjalan menuju kantin. Perutku mulai terasa
lapar.
***
“Diaryku?!” aku terbelalak lebar.
“Mana diaryku?”
Ku-amburadulkan laci mejaku. Dadaku
berdetak kencang. DIARYKU HILANG!
“Kuncinya?!” aku tersentak. Kunci
diaryku juga hilang! Ooh … bagaimana, ini?! Orang yang mengambilnya, pasti
dapat membaca diaryku itu! Bagaimana kalau semua rahasiaku terbongkar?! Mau
kutaruh dimana mukaku ini?!
“Adellia!” aku menhentakkan kaki.
Pasti dia lagi!!
Tapi
… hari ini, kan, Adellia nggak masuk sekolah? Dia, kan, sakit?! Jadi siapa?!
Kalau anggota geng Beauty Girl’s yang
lain, kan, gak mungkin … mereka sekolahnya bukan disini!!
Mukaku gelisah. Kucari
kembali diaryku itu ditempat lain. “Semoga ketemu … semoga ketemu … cuma
keselip … cuma keselip …” aku menenangkan diri dengan gelisah. Namun, diary itu
juga tak ada!
Mataku mulai berair. Oh, tidak … jangan menangis di situasi
seperti ini. Jangan!
“Lindsay?” seseorang
memanggilku. Aku terkejut, lalu cepat-cepat menoleh.
“Lindsay, kamu kenapa?” Lili, ia
mengulang kembali pertanyaannya.
“Aku … aku …” tangisku pecah,
“diaryku hilaaang! Hiks …”
“Hm?!” Lili terdiam. “Tadi … aku
lihat Adellia, lho. Dia memegang diarymu. Diarymu … berbentuk love berwarna polkadot hitam-putih,
kan?!”
“Iya!” aku mengangguk cepat-cepat.
“Tapi, Adellia, kan, nggak datang hari ini. Mungkin, kamu salah lihat orang.”
“Nggak!” Lili memotong, “dia
bener-bener Adellia! Aku samperin dia, terus aku tanya, kenapa dia pegang
diarymu. Dia bilang … kamu ngijinin dia membaca isi diarymu. Terus, dia bilang,
dia nggak datang karena paginya dia agak pusing.”
“Pembohong!” aku berseru. “Lili,
padahal aku nggak ngijinin dia sama sekali!”
“Dia bohong?” Lili terbelalak. “Ya!”
aku menjawab.
***
“Nih, paket dari Adellia.” Kak Laisa
menyerahkan sebuah paket. Aku menatap paket itu dahulu. “Kak, aku nggak mau
percaya sama Adellia lagi,” tolakku. “Adellia terlalu jahat untukku.” “Tak
boleh seperti itu, Lindsay!” Kak Laisa menegurku. “Berusahalah untuk memaafkan
semua kesalahan orang kepadamu.”
Aku memberengut. Lalu, dengan
setengah hati, aku membuka paket itu. Isinya … sebuah surat, diaryku, dan semua
barang-barang yang ia curi dari kamarku. Kubaca suratnya:
Untuk:
Charissa Lindsay
Dari:
Adellia
Maaf,
ya, Lindsay … aku telah mengkhianatimu serta mencuri beberapa barangmu. Jujur,
aku sangat menyesal atas semua yang aku lakukan kepadamu. Berarti, dosaku
bertambah banyak. Dan aku tak ingin menambahkannya menjadi lebih banyak lagi.
Mungkin kamu sudah menyangka ini: aku bekerja sama dengan geng Beauty Girl’s. Sebelum aku bersahabat
denganmu, aku dan geng itu sudah berencana akan membuatmu seperti itu. Maaf …
aku sudah membaca beberapa lembar diarymu. Dan aku tahu … kamu takkan mau lagi
bersahabat denganku. Kamu terlalu sakit hati gara-gara semua yang aku lakukan.
Aku minta maaf. Dan … mungkin kamu berhak mengetahui ini karena kamu adalah
mantan sahabatku. ‘Aku akan pindah sekolah dan pindah rumah. Perusahaan Papaku
bangkrut dan Papa ingin membuat usaha kecil-kecilan di Palembang, kampungku.’
Kuberikan padamu handpone-ku sebagai benda kenang-kenangan. Bye, bye … carilah
sahabat yang lebih baik dari aku, ya!
Aku terdiam. Adellia memang
seharusnya mendapat itu semua. Namun … aku tak ingin ia pergi dengan membawa
perbuatan salahnya yang belum kumaafkan.
Baiklah, aku menatap langit-langit
kamar, aku memafkanmu, Adellia. Walaupun
aku masih sakit hati kepadamu …
Hore, sudah selesai! Semoga makna cerita ini sampai ke teman2 semua, ya! Dadaah!
0 Comments