Berakhir di Januari~
Tentang
Januari, dan juga kisah 8C bersama Bu Mona.
Awalnya,
lagu Januari – Glenn Fredly kembali akrab di telingaku karena peristiwa Jennie
Blackpink dan Kai EXO putus—yeah, ada orang yang membuat video Jennie dan Kai
dengan lagu Januari. Pas nontonnya, asli w merasa nyesek. Perlu diketahui, aku
bukan shipper mereka, tapi entah kenapa sedih mereka putus (?). Oke mari
abaikan curcol diatas.
Lagu
Januari mungkin sering diputar sama orang sambil mengingat kisah mereka
sendiri. Dan, berhubung Januari termasuk lagu ‘sedih’, kurasa kebanyakan kisah
yang diingat juga sedih gitu yak. Sedangkan aku? Apakah juga mendengarnya
sambil ‘mengulang kisah sedih’?
Enggak
sih, paling cuma teringat kalo JenKai putus. Udah gitu aja. Aku suka dengerin
lagunya karena aku suka, yaudah gitu doang. Tapi, aku enggak nyangka kalo
ternyata aku juga dihampiri kisah Januari.
Kemarin,
hari Rabu (300119), Bu Mona masuk ke kelasku, kelas 8C. Awal masuk ke kelas, Bu
Mona langsung dikerumuni oleh Disya, Haura, Wivia dan Sheza. Keempat temanku
itu berusaha mencegat Bu Mona dan berusaha supaya Bu Mona tidak meninggalkan
kami.
Kenapa?
Karena memang sudah beredar kabarnya di kalangan siswa, bahwa Bu Mona akan
keluar dan ini merupakan minggu terakhirnya berada di sekolah kami.
Keempat
temanku itu berusaha agar Bu Mona tidak keluar, membujuk. Beberapa bahkan sudah
keluar air matanya. Sedangkan aku dan Balqis hanya duduk menonton dari tempat
duduk kami.
“Sudah,
sudah … jangan sedih, lagipula mau bagaimanapun kalian membujuk Ibu, surat Ibu
sudah diterima kepala sekolah,” Bu Mona menerangkan sedikit tertawa kecil.
Beliau berusaha menenangkan kami. Sedangkan para anak laki-laki, hanya terdiam
menyaksikan kami berenam.
“Sudah,
duduk,” perintah Bu Mona. Keempat temanku beringsut beranjak dari meja guru,
lalu duduk di tempat duduk mereka. Setelah semuanya kembali ke tempat duduk
masing-masing, Bu Mona masih tersenyum di mejanya, Beliau menjelaskan kepada
para anak laki-laki yang masih kebingungan, mengapa kami para perempuan sedih
semua.
“Jadi,
Ibu mau keluar dari sekolah ini, dan ini adalah minggu terakhir Ibu disini,”
kalimat pertama Bu Mona mengundang seruan tak percaya dari anak laki-laki.
“LOH?!”
“Loh,
Ibu, tapi kenapa harus keluar?”
“Kenapa
keluar, Bu?”
“Enggak
seru, lagi, lah, Bu!”
Bu
Mona menjelaskan dengan tenang alasannya keluar, lalu berkata, “kalian masih
bisa kok, nanti berkunjung ke rumah Ibu,” Bu Mona menuliskan alamat rumah dan
nomor ponselnya di papan tulis.
“Ibu,
tapi Ibu enggak boleh keluar!”
“Kami,
kan, udah cocok sama Ibu, jadi Ibu gak bisa keluar begitu!”
Seruan
protes muncul dari anak laki-laki. Sedangkan kami, yang perempuan, hanya
terdiam di bangku masing-masing. Tak bisa lagi kami protes, semua bentuk dan
aksi protes kami sudah dikeluarkan sejak kemarin namun tak kunjung berhasil.
Mesti eottokke?
“Tapi
Ibu memang harus keluar, sudah waktunya,” Bu Mona masih tersenyum ringan. Yang
lain terdiam.
“Bu,
Ibu gak kasian, apa, liat saya sedih gini?” tanya Hanif, memancing tawa dari
yang lain.
“Eh,
gak boleh sedih. Kita masih bisa jumpa, kok.”
“Kalo
gitu, kenapa Ibu harus keluar? Tetap ngajarin kami, Bu. Kami udah cocok gurunya
sama Ibu,” pinta yang lain.
“Bu,
gak enak loh ditinggal pas lagi sayang-sayangnya!” celetuk Asqa, kembali
memancing tawa yang lain. Namun aku masih diam, perlahan menutupi wajahku
dengan tangan. Melihat protesnya anak laki-laki membuatku sedih.
“Ibu,
kalo Ibu enggak ada, nanti enggak ada lagi guru yang suka cerita sama kami,”
bujuk yang lain.
Aku
teringat, Bu Mona sering bercerita dengan kami. Bu Mona pernah bercerita
tentang tempat kosnya yang berhantu, cerita ini-itu, bahkan saat jam pelajaran.
Namun, hal ini adalah hal yang kami senangi dan Bu Mona.
“Iya,
Bu! Nanti enggak ada lagi guru yang suka kasih nonton,” timpal yang lain. Bu
Mona memang sering menampilkan kami film, mengajak kami nonton bersama.
“Buu,
Ibu gak boleh keluar …”
“Masih
banyak kok guru lain yang suka ngajak kalian nonton, kan sering sama guru yang
lain?” jawab Bu Mona.
“Iyaa,
tapi kalo sama Ibu kan bedaa …”
Dan
banyaaak lagi protes yang dilontarkan teman-teman sekelasku sampai akhirnya Bu
Mona menghentikan itu semua. Bu Mona menghidupkan laptopnya, lalu menyambungkan
ke TV. Beliau membuka youtube, lalu kami nonton bersama.
Sehabis
menonton, iseng-iseng, Sheza menyarankan Bu Mona untuk menghidupkan lagu
Januari – Glenn Fredly. Awalnya hanya untuk senang-senang atau sekadar
mendengarkan lagu, memang. Dan mungkin, hanya bermaksud mengkodekan bahwa lagu
itu menggambarkan perpisahan di Januari—sama seperti peristiwa kami sekarang.
Bu
Mona pun mencari lagu itu di yt, trus tertawa kecil sambil mengklik salah satu
video, lagu + lirik Januari, “waah, ini lagu kesukaan Ibu pas jaman
dulu-duluu!”
Kami
tersenyum, senang mengetahui itu termasuk lagu favorit Bu Mona. Namun, saat
lagu itu di klik, aku langsung merasa keputusan untuk menghidupkan lagu itu
salah.
Bu
Mona berdiri, lalu berjalan menuju belakang kelas, lalu berkumpul bersama
Disya, Wivia, Sheza dan Haura. Mereka berempat berpelukan.
Melodi
Januari mulai mengalun.
Aku
hanya terdiam menatap TV, menatap kosong lirik yang tercantum, menangkupkan
pipiku dengan tangan. Lagu mengalun.
Awalnya,
semua baik-baik saja. Keempat temanku mulai bernyanyi.
Namun,
semakin lagu dekat dengan reff, tanganku semakin bergeser ke mata, berusaha
menyembunyikan mataku yang mulai berkaca-kaca. Bahuku mulai bergetar menahan
tangis.
Kasihku, sampai disini kisah kita
Jangan tangisi keadaannya
Bukan karena kita berbeda
Semua
bayangan berkelebat. Kami sekelas yang asyik mendengarkan cerita Bu Mona sampai
mematikan lampu agar lebih ‘seru’, kami dan Bu Mona yang bercerita saat sedang
sesi pelajaran, kami dan Bu Mona yang menonton film bareng—dan banyak lagi.
Dengarkan, dengarkan lagu, lagu ini
Melodi rintihan hati ini
Kisah kita berakhir di Januari~
Tepat
di kata Januari, tangisku meledak, bahuku bergetar hebat. Tak terdengar lagi
nyanyian teman-temanku, digantikan tangis yang susul-menyusul. Aku berusaha
meredam tangisku, seiring dengan lagu yang terus mengalun. Namun, hal itu malah
membuat bahuku semakin bergetar hebat. Aku terisak.
Reff
pertama terlewati, tangisku masih hadir. Dan, di reff kedua, tangisku semakin
hebat. Tanganku bergetar, saling meremas satu sama lain, berusaha meredam rasa
sesak di hatiku. Perpisahan memang menyedihkan.
Dan,
di reff terakhir, saat kata ‘berakhir di Januari’, tiba-tiba ada sebuah tangan
yang memelukku. Bu Mona. Beliau memelukku sangat erat.
“Zahra
jangan sedih-sedih, ya. Tetap giat belajar,” hanya itu kata-kata Bu Mona yang
kuingat, selebihnya teredam oleh tangisku yang semakin menjadi. Aku memeluk
tangan Bu Mona, ingin berkata, tapi tak bisa.
Dengan
anak laki-laki yang masih di depanku, dengan bibir yang kelu, dengan mata
bengkak, aku sama sekali tak berani membuka tanganku yang menutup wajahku,
bahkan tak berani membuka mulut.
Mengatakan
suatu hal—akan membuatku semakin sedih.
Dan
lagu berakhir. Pelukan Bu Mona dilepas, dan wajahku kuletakkan perlahan di
meja. Aku masih berusaha meredam tangis, saat kelas terasa sepi. Semuanya
diselimuti atmosfer kesedihan. Dan, saat itu, bel isitirahat berbunyi.
“Pokoknya,”
terdengar suara Bu Mona yang masih serak sehabis menangis, “kalian gak boleh
sedih. Dengan keluarnya Ibu, kalian akan menemukan guru baru yang lebih seru
lagi daripada bersama Ibu. Nantinya, guru Bahasa Indonesia kalian akan
diganti.”
Aku
hanya bisa diam, tak mengangkat wajah sedikitpun. Lalu kudengar satu-persatu
anak laki-laki mulai keluar. Kelas mulai sepi.
Wajahku
masih kututup, aku masih terisak.
“Zah
…”
Aku
akhirnya mengangkat kepala, lalu menghapus jejak air mata di wajahku. Bu Mona
sudah keluar, semuanya sudah keluar, tinggallah aku, Sheza dan Disya di dalam
kelas, masih menangis.
“Ayo,
keluar. Semuanya pasti udah mulai shalat dhuha.”
Aku
mengangguk, masih sesenggukan.
Flashback foto kami:
*rakyat 8C + Bu Mona*
Untuk
8C dan Bu Mona
Loveyouu~
0 Comments